31 Maret 2011

Connectivity Dalam ASEAN Maritime Forum

All hands,

Dalam ASEAN Maritime Forum (AMF) saat ini terdapat tiga isu yang tengah dikembangkan. Ketiga isu tersebut pada dasarnya masih merupakan isu lunak. Yakni connectivity, understanding maritime security dan search and rescue. Menarik untuk mendalami apa yang dimaksud dengan connectivity.

Connectivity pada dasarnya merupakan integrasi sistem transportasi laut ASEAN, termasuk di dalamnya pelabuhan, perkapalan dan keselamatan pelayaran. Kalau dicermati lebih jauh, connectivity sebenarnya merupakan bentuk lain dari liberalisasi dalam bidang jasa maritim. Dari sini Indonesia perlu berhati-hati dalam memainkan isu tersebut.

Mengapa? Pertama, harus tetap diingat bahwa Indonesia merupakan negara berdaulat, termasuk berdaulat untuk menerapkan asas cabotage. Asas cabotage adalah kebijakan proteksionisme, sehingga berlawanan dengan connectivity. Kedua, efisiensi pelabuhan. Connectivity apabila tidak diikuti dengan pembenahan internal akan menjadikan Indonesia sebagai pecundang dalam AMF. Sebab pelabuhan Indonesia sebagai mata rantai transportasi maritim masih penuh dengan ketidakefisienan, sehingga tak menjadi pilihan utama bagi perkapalan asing untuk menggunakan jasanya.

Ketiga, manajemen keamanan maritim. Connectivity terkait pula dengan penerapan ISPS Code. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas pelabuhan Indonesia tidak comply dengan aturan internasional tersebut. Semrawutnya praktek penerapan ISPS Code adalah contoh dari amburadulnya manajemen keamanan maritim di Indonesia.

Dari sini tergambar betapa Indonesia mempunyai banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan apabila ingin menjadi pemain utama dalam AMF. Pembenahan itu harus bersifat nyata dan bukan kosmetik belaka.

30 Maret 2011

Pola Lunak ASEAN Maritime Forum

All hands,
ASEAN Maritime Forum (AMF) sebagai wadah kerjasama maritim negara-negara ASEAN kini tengah mencari bentuk. Pendirian kelembagaan tersebut penuh dengan dinamika dari negara-negara ASEAN, karena secara historis kecurigaan antar negara Asia Tenggara masih tinggi. Karena kecurigaan itu pula maka pola kerjasama yang dicoba dirintis oleh AMF berangkat dari isu-isu lunak. Singkatnya, AMF belum mau menyentuh isu-isu keamanan maritim yang keras seperti sengketa batas laut.
Pola lunak yang dirintis oleh AMF dapat dipahami. Namun demikian, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Pertama, jangka waktu. Sampai kapan AMF akan menjauhkan diri untuk tidak menyentuh isu-isu keamanan yang sensitif. Kedua, apakah benar agenda yang berpola lunak senantiasa digunakan untuk segelintir negara? Ketiga, seberapa jauh peran body AMF unuk merumuskan pola lunak dapat mengurangi potensi konflik internal sesama negara ASEAN.
Perlu dipahami bahwa pola lunak AMF tidak lepas dari isu sengketa maritim antara negara ASEAN. Isu sengketa maritim akan berujung pada isu kedaulatan, di mana sebagian negara ASEAN masih sensitif terhadap isu kedaulatan. Pertanyaannya, apa agenda yang disodorkan oleh Indonesia dalam menyikapi pola lunak itu?

29 Maret 2011

Menggagas Latihan Multinasional

All hands,
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mulai aktif berpartisipasi dalam latihan militer multinasional. Misalnya dalam AMAN Exercise, begitu pula dengan COBRA GOLD dan RIMPAC. Partisipasi demikian patut untuk diacungi jempol karena merupakan suatu kemajuan dibandingkan sebelumnya. Di masa lalu Indonesia terkesan tidak mau ikut dalam latihan militer multinasional, apalagi bila sponsornya adalah Amerika Serikat.
Terkait dengan hal tersebut, ada baiknya bila ke depan Indonesia bukan sekedar berpartisipasi dalam latihan militer multinasional, tetapi turut pula menggagas dan menjadi sponsor dari latihan serupa. Dengan kata lain, Indonesia membuat suatu latihan militer multinasional dengan melibatkan negara-negara kawasan. Latihan demikian akan mempunyai nilai politik dan non politik yang besar bagi Indonesia.
Nilai politik yaitu menunjukkan inisiatif Indonesia dalam menjaga stabilitas keamanan kawasan. Adapun nilai non politiknya adalah meningkatkan interaksi militer Indonesia dengan militer asing, selain meningkatkan profesionalisme kekuatan militer Indonesia. Kalau negeri ciprit seperti Singapura bisa menyelenggarakan latihan tahun Angkatan Laut yang bersifat multinasional di Laut Cina Selatan, mengapa Indonesia tidak bisa?
Tema latihan Angkatan Laut yang tersedia cukup luas dan banyak. Entah itu MCMEX, latihan penyelamatan kapal selam, latihan peperangan elektronika, HADR, NEO ataupun latihan tempur di laut dengan manuver berbagai jenis kapal perang seperti halnya dalam RIMPAC. Kalau soal dukungan anggaran bisa diajukan kepada Departemen Pertahanan. Soal anggaran sepertinya tidak sulit, toh latihan ini berdampak positif bagi Indonesia baik secara politik maupun profesionalisme Angkatan Laut. Belum terlambat bagi Indonesia untuk berinisiatif menggelar latihan Angkatan Laut multinasional.

28 Maret 2011

Fotografi Angkatan Laut

All hands,

Sudah menjadi pemahaman umum betapa sebuah atau serangkaian foto bisa mengubah opini publik yang bisa jadi berujung pada terjadinya perubahan politik yang dahsyat. Foto seorang aparat keamanan Vietnam Selatan menembak seorang tersangka Vietcong di tengah kota dalam Perang Vietnam merupakan arus balik dalam dukungan publik Amerika Serikat terhadap Perang Vietnam. Sebaliknya, foto pengibaran (ulang) bendera Amerika Serikat pada hari kelima Pertempuran Iwojima juga merupakan momen menguatnya dukungan publik Amerika Serikat terhadap Perang Pasifik, termasuk dalam soal pengumpulan war bound. Itu adalah gambaran peristiwa ketika arus informasi di dunia belum sedahsyat saat ini, ketika apa yang terjadi di belahan bumi lain saat ini dapat segera diketahui oleh manusia di belahan bumi lainnya hanya dalam hitungan menit.

Dalam era globalisasi saat ini, ada adagium bahwa siapa yang menguasai informasi maka dia yang menang. Pembentukan opini publik kini menjadi salah satu pekerjaan utama bagi para pejabat pertahanan dan militer untuk menggalang dan mendapatkan dukungan terhadap kebijakan yang mereka tempuh. Lihat contoh betapa media massa dieksploitasi sedemikian rupa di Amerika Serikat guna mendukung kebijakan Perang Afghanistan dan Irak di era Administrasi George W. Bush, Jr. Terkait dengan Angkatan Laut Amerika Serikat, bisa dilihat betapa urusan pembentukan opini publik sama pentingnya dengan memenangkan perang atau operasi yang tengah mereka gelar.

Keseriusan itu bisa diintip misalnya pada situs U.S. Navy yang setiap hari foto-fotonya dimutakhirkan, begitu pula pada situs-situs armadanya, misalnya situs Armada Ketujuh. Dari foto-foto itu bisa dilihat berbagai kegiatan operasional yang mereka gelar saat ini, misalnya kesibukan beberapa orang awak kapal induk menentukan persiapan tinggal landas pesawat tempur lewat pemberian aba-aba menggunakan tangan. Atau di kesempatan lain, awak kapal perang Amerika Serikat yang sedang berpatroli di Teluk Persia memberikan bekal makanan dan minuman kepada awak kapal ikan Iran yang tengah terapung-apung di tengah laut.

Sangat disayangkan di Indonesia eksploitasi fotografi operasional Angkatan Laut masih jauh dari yang diharapkan. Sangat susah menemukan foto-foto personel Angkatan Laut negeri ini yang tengah sibuk dengan tugas pokoknya di laut, misalnya mengawaki PIT atau mengawaki anjungan dalam suatu operasi. Atau bisa pula beberapa personel yang tengah mempersiapkan penembakan torpedo dalam sebuah latihan, dapat juga foto sebuah kapal perang yang tengah menerjang ombak besar dengan haluan tengah masuk ke dalam air. Sebaliknya, sangat mudah menemukan foto-foto kegiatan protokoler di negeri ini.

Dalam peperangan informasi saat ini, fotografi Angkatan Laut sebaiknya dieksploitasi sedemikian rupa. Misalnya dalam kasus di Laut Sulawesi, foto-foto operasional yang tengah dilaksanakan oleh Angkatan Laut negeri ini dapat dimunculkan kepada publik supaya mereka paham dan tahu apa saja yang dilakukan Angkatan Laut di sana. Dari situ diharapkan dukungan mereka kepada Angkatan Laut akan lebih meningkat dibandingkan sebelumnya.

27 Maret 2011

Mengembangkan Doktrin Dari Sejarah

All hands,
Doktrin militer bukanlah suatu kitab suci yang tidak dapat diubah. Doktrin militer bukan pula sesuatu yang turun dari langit. Sebaliknya, doktrin militer harus senantiasa mengalami penyesuaian atau perubahan seiring berjalannya waktu, sebab perjalanan waktu berarti adanya perubahan terhadap hal-hal yang terkait dengan dunia militer. Singkatnya, kebenaran dalam doktrin militer adalah kebenaran relatif, yaitu kebenaran yang berlaku dalam suatu ruang dan waktu.
Bertolak dari keyakinan demikian, banyak kekuatan Angkatan Bersenjata di dunia senantiasa merevisi doktrin yang mereka anut. Lihat saja doktrin U.S. Navy dari era Perang Dingin hingga pasca 11 September 2011. Perubahan doktrin tersebut salah satunya dikaitkan dengan faktor sejarah, khususnya pengalaman operasi terbaru yang mereka hadapi. Operasi di Afghanistan dan Irak banyak mempengaruhi revisi doktrin militer Amerika Serikat masa kini.
Semua itu terjadi karena salah satu sumber doktrin adalah sejarah militer. Tak heran bila para ahli sejarawan mendapat tempat khusus di lembaga-lembaga militer negara-negara maju, sebab mereka-lah yang mengkompilasi berbagai arsip operasi militer untuk kemudian diolah sedemikian rupa sehingga produk akhirnya adalah doktrin. Lihat saja para pengajar di U.S. Naval War College, sebagian di antaranya adalah para profesor sejarah.
Dalam konteks Indonesia, sayangnya revisi doktrin yang bersumber pada sejarah terbaru masih belum dilakukan. Padahal sejarah operasi militer Indonesia sudah banyak sekali, sehingga sejarah pengalaman operasi militer selama Perang Kemerdekaan 1945-1949 sebagian besar sudah tidak valid lagi. Pasca Operasi Trikora dan Dwikora, kekuatan Angkatan Bersenjata Indonesia memiliki pengalaman Operasi Seroja 1975 dan berbagai operasi lanjutan di Timor Timur hingga 1999, ada pula operasi militer di Aceh dari 1976 hingga 2005, begitu pula operasi militer di Papua. Semua operasi yang digelar tersebut sangat jelas merupakan lumbung sejarah sekaligus sumber bagi revisi doktrin militer Indonesia.
Meskipun operasi-operasi tersebut sebagian besar lebih berat pada operasi di daratan, akan tetapi bukan berarti tak ada ruang bagi Angkatan Laut di sana. Sebab Angkatan Laut memainkan peran pula di sana, walaupun porsinya tidak sebesar kekuatan darat. Dari peran yang dimainkan tersebut, sebenarnya memberikan jendela kesempatan untuk meninjau, mengkaji dan kemudian merevisi doktrin-doktrin yang selama ini dianut. Bahkan operasi di Laut Sulawesi (Ambalat) dapat menjadi sumber lainnya bagi revisi doktrin Angkatan Laut.
Untuk bisa menuju ke arah sana, salah satu hal penting yang harus tersedia adalah tersedianya arsip-arsip operasi tersebut. Arsip-arsip itu akan dikumpulkan dan kemudian dikaji oleh para sejarawan militer (bahkan mungkin sejarawan sipil) untuk kemudian didiskusikan lebih lanjut dengan para perwira yang berlatar belakang satuan operasional. Sebab dari kajian tersebut pasti akan ditemukan banyak lesson learned yang dapat menjadi dasar bagi revisi doktrin Angkatan Laut.

26 Maret 2011

Geopolitik Dan Keamanan Pasokan Rudal

All hands,
Sistem senjata Angkatan Laut di masa depan bagi Indonesia salah satunya akan tergantung pada kondisi geopolitik. Sebab bagaimanapun Indonesia masih akan tergantung pada pasokan asing untuk sistem senjatanya, khususnya pada senjata kinetik yaitu rudal, torpedo dan meriam. Yang perlu menjadi perhatian sejak dini adalah soal rudal, sebab situasi saat ini menggambarkan dengan jelas betapa ada embargo terselubung terhadap Indonesia untuk memperoleh rudal anti kapal maupun rudal jenis lainnya. Kondisi ini ke depan nampaknya tidak akan berubah banyak.
Dikaitkan dengan geopolitik, produsen rudal Angkatan Laut dapat dikelompokkan dalam kubu geopolitik yang berbeda. Selain kubu NATO, ada pula kubu Rusia, tak ketinggalan pula kubu Cina. Masih ditambah pula kubu India, negara yang kini menjadi ajang perebutan pengaruh Amerika Serikat dan Rusia.
Selama puluhan tahun, kubu NATO menjadi andalan sebagai pemasok rudal bagi kekuatan laut Indonesia. Monopoli itu baru terpatahkan beberapa tahun silam ketika Cina dan Rusia dipercaya memasok rudal bagi kebutuhan Angkatan Laut Indonesia. Ke depan, sepertinya Indonesia akan lebih bertumpu pada Beijing dan Moskow dalam hal rudal Angkatan Laut. Mungkin pula India menjadi alternatif lainnya, sebab dalam kunjungannya ke Jakarta Januari 2011 silam Kasal India kembali menawarkan rudal buatan Negeri Sungai Gangga kepada Angkatan Laut Indonesia.
Ke depan, perlu kehatian-hatian dalam menyeimbangkan sumber pasokan rudal bagi Angkatan Laut. Sebab kebangkitan Cina yang secara kasat mata bersifat ekspansif dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap pasokan rudal Beijing kepada Jakarta. Sebab sulit membayangkan Jakarta akan mengorbankan kepentingan nasionalnya demi mendapatkan rudal dari Beijing. Bagaimanapun soal potensi konflik dengan Cina tidak boleh dinolkan.
Dari sana pilihan lainnya adalah Rusia. Moskow ke depan sepertinya akan berbenturan dengan Jakarta, berbeda dengan Beijing dan Jakarta. Kondisi ini diharapkan kondusif bagi Indonesia dalam rangka menjamin keamanan pasokan rudal bagi Indonesia. Hanya saja perlu dicermati masalah karakter berbisnis dengan Rusia yang berbeda dengan karakter berbisnis dengan NATO.
New Delhi patut pula dijadikan alternatif lainnya, dengan catatan perlu diperhatikan seberapa besar kemampuan India untuk tidak tunduk kepada Amerika Serikat. Sebab interaksi New Delhi-Washington semakin meningkat beberapa tahun terakhir, termasuk penjualan sistem senjata Amerika Serikat guna menggantikan sistem senjata buatan Uni Soviet/Rusia. Yang perlu diwaspadai adalah apabila India tunduk kepada Amerika Serikat, sebab situasi itu akan berimplikasi "merepotkan" Indonesia ke depan.

25 Maret 2011

Demokrasi Dan Militer

All hands,
Presiden Amerika Serikat Barack Obama menegaskan bahwa penjatuhan rezim Moammar Khadafi di Libya merupakan bagian dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat saat ini. Untuk menjatuhkan rezim yang telah berkuasa sejak 1969 di tanah Afrika Utara itu, Obama telah memberikan otorisasi penggunaan kekuatan militer. Tentang demokrasi memang senantiasa menjadi bagian tak terpisahkan dari kepentingan nasional Amerika Serikat, siapapun yang menjadi presiden. Lihat saja U.S. National Security Strategy yang dirumuskan di masa administrasi Obama.
Peran militer Amerika Serikat dalam penegakan demokrasi di Libya memperlihatkan betapa demokrasi menjadi bagian integral dari to promote American values. Militer adalah instrumen dalam promosi tersebut. Soal dalam implementasi promosi demokrasi digunakan kekerasan, hal itu merupakan urusan lain. Kasus Afghanistan dan Irak sering dijadikan acuan soal tidak compatible-nya penggunaan kekuatan militer untuk penegakan demokrasi.
Yang patut pula untuk dicermati adalah peran Angkatan Laut Amerika Serikat dalam promosi demokrasi itu. Kekuatan laut Paman Sam selalu setia berada pada lini terdepan dalam penegakan demokrasi. Entah itu caranya persuasif, represif maupun koersif. Angkatan Laut Amerika Serikat senantiasa berada pada garda terdepan dalam mengamankan American values. Suatu hal yang patut dipelajari di Indonesia.

24 Maret 2011

Penegasan Nilai Strategis Kapal Selam Di Libya

All hands,
Pemboman yang dilakukan oleh negara-negara koalisi terhadap Libya berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB No.1973 bukan saja mengandalkan pada kekuatan udara, tetapi bertumpu pula pada kekuatan laut. Kapal selam menjadi salah satu senjata strategis negara-negara koalisi untuk melumpuhkan kemampuan militer Muammar Khadafi, melalui peluncuran rudal jelajah Tomahawk dari lautan lepas menuju sasaran-sasaran militer di negeri penghasil minyak itu. Sebagaimana dalam Perang Teluk, Perang Afghanistan dan Perang Irak, kapal selam selalu diandalkan untuk meluncurkan serangan mematikan dari balik kolom air.
Apa yang terjadi di Libya hendaknya menjadi salah satu pelajaran bagi Indonesia. Jangan sampai negeri ini suatu saat nanti nasibnya seperti Libya dan pendahulunya yaitu Afghanistan dan Irak. Yakni digempur oleh militer negara-negara maju tanpa daya. Sebagai negara kepulauan, dengan mudahnya kapal selam negara-negara lain memasuki perairan Indonesia.
Bagi Angkatan Laut, di antara pekerjaan rumah yang tersedia adalah membenahi kemampuan pepeperangan kapal selam. Kemampuan mendeteksi kapal selam asing yang memasuki perairan Indonesia harus ditingkatkan. Meskipun bisa saja rudal yang diluncurkan dari kapal selam itu berada di luar wilayah Indonesia, bukan berarti tidak ada pekerjaan rumah untuk negeri ini.
Kasus Libya menunjukkan pula nilai strategis kapal selam bagi serangan surge terhadap pihak lain. Nilai pendadakan yang diciptakan oleh kapal selam nyaris tak tertandingi oleh sistem senjata lainnya. Singkatnya, proses pengadaan kapal selam baru bagi kekuatan laut Indonesia hendaknya tidak lagi berputar bagaikan lingkaran setan. Keputusan politik yang tegas dibutuhkan di sini.

23 Maret 2011

Dibutuhkan Ketegasan Di Somalia

All hands,
Kasus pembajakan kapal berbendera Merah Putih oleh para perompak Somalia secara kasat mata menunjukkan bahwa kepentingan nasional Indonesia terancam. Ada beberapa alasan mengapa kepentingan nasional itu terancam. Pertama, kapal yang dibajak merupakan wilayah yurisdiksi Indonesia. Kedua, warga Indonesia terancam keselamatan harta dan jiwanya. Ketiga, sistem perkapalan nasional yang merupakan bagian dari ekonomi Indonesia secara keseluruhan berada pada posisi terancam.
Untuk merespon situasi itu, dibutuhkan ketegasan sikap dari Jakarta. Ketegasan sikap tidak cukup dengan pernyataan keras pada nota diplomatik, tetapi harus tercermin melalui penyebaran dan penggunaan kekuatan Angkatan Laut untuk membebaskan kapal yang dibajak tersebut. Setidaknya ada dua pendekatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi pembajakan MV Sinar Kudus di Somalia.
Pertama, jangka pendek. Caranya dengan menyebarkan kapal perang Indonesia ke perairan Somalia untuk melaksanakan operasi pembebasan. Mengingat jarak yang jauh, kapal perang Indonesia yang tengah melaksanakan misi PBB di perairan Lebanon dapat ditarik ke perairan Somalia untuk sementara waktu. Pejabat Indonesia harus cerdas untuk menjelaskan alasan kepada pejabat PBB/UNIFIL soal penyebaran ulang itu.
Kedua, jangka menengah. Adapun untuk jangka menengah, Indonesia sudah saatnya mengirimkan kapal perang untuk berpatroli di perairan Somalia, setidaknya operasi unilateral meskipun tetap bekerjasama dengan kekuatan Angkatan Laut lainnya di sana. Mengenai biaya operasi, "bisa diatur" apabila sudah ada direktif politik.
Dengan beroperasi di Somalia, Angkatan Laut Indonesia akan memperoleh banyak keuntungan. Seperti meningkatnya kemampuan interoperability dengan Angkatan Laut negara-negara lain, juga memperkuat basis bagi kekuatan laut Indonesia untuk menjadi post-modern Navy. Seperti dinyatakan oleh Geoffrey Till, salah satu tugas post-modern Navy adalah maintenance good order at sea.

22 Maret 2011

Pahlawan Nasional Angkatan Laut

All hands,
Cara pandang bangsa Indonesia yang masih berorientasi kontinental bisa dilihat pula dari jumlah pahlawan nasional. Jumlah pahlawan nasional yang berasal dari Angkatan Laut sangat amat sedikit sekali. Bandingkan dengan pahlawan nasional dari matra militer lainnya.
Mau tahu berapa jumlah pahlawan nasional dari Angkatan Laut? Tidak lebih dari lima jari saja.
Situasi itu menggambarkan betapa dari urusan penetapan pahlawan nasional pun, dunia maritim belum dilirik. Memang dari aspek sejarah, operasi Angkatan Laut Indonesia yang berupa pertempuran heroik tidak banyak. Namun perlu dipahami bahwa kepahlawanan seseorang tidak harus dilihat dari urusan pertempuran, khususnya bagi personel militer. Toh berjasa kepada bangsa dan negara tidak berarti harus selalu gugur di medan tempur.
Sedikitnya pahlawan nasional dari Angkatan Laut bisa jadi menunjukkan pula betapa kepahlawan dari laut belum digali secara komprehensif. Misalnya operasi kapal selam dalam rangka operasi Trikora patut untuk digali kembali. Sebab dalam pelaksanaan operasi itu seringkali ada kontak langsung dengan musuh, meskipun tidak pecah menjadi pertempuran laut.
Kalau melihat sejarah Angkatan Laut negeri ini, tidak sedikit personel Angkatan Laut yang berjasa kepada bangsa dan negara, hanya saja status mereka bukan (atau belum) pahlawan nasional. Nama mereka hanya diabadikan di lingkungan pendirian darat Angkatan Laut, pula di kapal perang.
Pesan yang ingin disampaikan di sini adalah paradigma kepahlawanan bangsa ini masih berbau kontinental. Orang-orang yang berjasa dari matra non kontinental belum dilirik untuk diteliti lebih lanjut akan jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara ini.

21 Maret 2011

Rencana Kontinjensi Menghadapi Non-Combatant Evacuation Operation

All hands,
Indonesia kaya akan sumber daya alam, kaya pula dengan entitas pertambangan asing yang berada di dalam wilayah kedaulatan. Entitas asing yang menyedot sumber daya alam Indonesia tersebut sudah pasti membutuhkan rasa aman. Merupakan tanggungjawab pemerintah Indonesia untuk mampu memberikan rasa aman tersebut.
Apabila Indonesia dipandang tak mampu memberikan rasa aman, negara-negara di mana entitas itu berasal tidak pernah ragu untuk menyebarkan kekuatan militernya untuk melindungi entitas mereka di sini. Entitas itu terletak di berbagai tempat di Indonesia, seperti anjungan minyak dan gas di ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan, anjungan serupa di Selat Makassar dan Laut Jawa, pula kawasan Freeport di Tembaga Pura. Kalau sudah begini kondisinya, pihak yang paham akan berkesimpulan bahwa keamanan obyek-obyek vital tersebut secara ril bukan tanggungjawab sipil bersenjata seperti yang selama ini diklaim. Mana mungkin sipil bersenjata ditugaskan untuk menghadapi intervensi militer asing, sebab urusan keamanan nasional secara luas dan pertahanan secara khusus bukanlah wewenang dan tanggungjawab sipil bersenjata.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kekuatan di kawasan seperti Amerika Serikat dan Australia sudah memiliki rencana kontijensi untuk melaksanakan non-combatant evacuation operation (NCEO)di Indonesia. Tantangannya adalah Indonesia harus mempunyai rencana untuk meng-counter kemungkinan operasi itu digelar di beberapa wilayah Indonesia yang menjadi kawasan entitas asing. Lalu bagaimana meng-counter rencana kontinjensi itu?
Kekuatan militer Indonesia, termasuk kekuatan Angkatan Laut, dituntut untuk mampu merebut inisiatif. Setiap ancaman keamanan di wilayah entitas asing harus segera ditangani, situasi keamanan di wilayah itu harus dipulihkan as soon as possible. Artinya, maksimal dalam 24 jam sejak terjadinya ancaman keamanan yang serius maka situasi di wilayah tersebut harus diamankan dengan cara apapun. Apabila tidak, maka ada alasan kuat bagi kekuatan militer asing untuk mengamankan kepentingan mereka di Indonesia.
Rencana kontinjensi yang ada saat ini ada baiknya dimutakhirkan, khususnya menyangkut kemampuan untuk memulihkan kedaulatan negara di wilayah yang terkena ancaman keamanan. Semakin cepat kedaulatan negara dipulihkan ---artinya antara lain situasi bisa dikendalikan, aparat militer cepat menguasai situasi dan wilayah--- maka kemungkinan akan adanya intervensi militer asing melalui non-combatant evacuation operation bisa diminimalisasikan secepat mungkin. Kuncinya terletak pada waktu, seberapa cepat kekuatan militer merespon ancaman yang muncul.

20 Maret 2011

Masa Depan Operasi Keamanan Maritim Di Somalia

All hands,
Setelah beroperasi selama hampir tiga tahun, masa depan operasi keamanan maritim yang digelar oleh beberapa Angkatan Laut dunia di perairan Somalia patut untuk dipertanyakan kontinuitasnya. Hal ini tidak lepas dari komitmen politik setiap negara yang menyebarkan kapal perangnya ke sana. Sementara komitmen politik akan selalu senantiasa terkait dengan kemampuan anggaran untuk mendukung operasi tersebut.
Memang sampai saat ini belum ada tanda-tanda bahwa negara-negara yang menyebarkan kapal perangnya ke perairan Somalia dan sekitarnya akan menarik diri dari misi anti pembajakan. Hanya saja perlu ditarik pelajaran dari operasi di Irak dan Afghanistan, di mana satu persatu negara yang mengirimkan kekuatan militernya di sana menarik diri dengan beragam alasan. Dari aspek ekonomi, sangat jelas bahwa biaya operasi maritim di perairan Somalia dan sekitarnya sangat murah dibandingkan dengan operasi stabilisasi di Irak dan Afghanistan.
Negara-negara Uni Eropa kini tengah bergulat dengan tekanan ekonomi karena adanya beberapa negara anggota yang ekonominya kritis. Akibatnya, anggaran pertahanan mereka sejak dua tahun silam mengalami pengetatan. Mungkin hanya Amerika Serikat yang masih akan terus bertahan di perairan Somalia dan sekitarnya hingga waktu tak terbatas. Sedangkan negara-negara lainnya yang secara individual mengirimkan kapal perangnya, kontinuitas operasi Angkatan Laut mereka di perairan negeri yang terus dilanda perang saudara itu perlu dipertanyakan.
Keamanan maritim memang prasyarat bagi globalisasi. Semua negara akan mengeluarkan semua sumberdaya untuk menciptakan kondisi keamanan maritim yang aman dan stabil. Tetapi kemampuan setiap negara berbeda-beda, ada yang "nafasnya" panjang, ada pula yang "nafasnya" tidak terlalu panjang. Pertanyaannya, bagaimana dinamika keamanan maritim di perairan Somalia dan sekitarnya dalam beberapa tahun ke depan ketika sebagian negara yang kini menyebarkan kapal perangnya ternyata mulai mempertimbangkan kembali misi mereka di sana. Sementara di daratan Somalia hingga kini tak ada tanda-tanda akan adanya resolusi konflik.

19 Maret 2011

Somalia Nun Jauh Di Sana

All hands,
Somalia adalah suatu negeri yang nun jauh di sana dari Indonesia, ribuan mil jaraknya. Jauhnya Somalia dari Indonesia bukan sekedar dari aspek jarak, tetapi jauh pula dari aspek kepentingan nasional Indonesia. Indikatornya tak sulit untuk mencarinya, yaitu tidak adanya perhatian besar terhadap pembajakan kapal Indonesia di pantai timur Afrika oleh para pembajak asal negeri yang sejak 1991 dilanda perang saudara.
Negeri Tukang Klaim telah lama menyebarkan kapal perangnya ke perairan Somalia untuk mengamankan armada niaganya di sana. Sementara Jakarta nampaknya memandang bahwa tidak ada eksistensi kepentingan nasional Indonesia di negeri Tanduk Afrika itu. Jakarta sepertinya tidak paham bahwa eksistensi Angkatan Laut adalah untuk melindungi kepentingan nasional, di antaranya perdagangan dan pelayaran.
Negeri ini telah membuktikan betapa kemauan politik mampu mendorong penyebaran kapal perang Indonesia ke Lebanon untuk melaksanakan salah satu kepentingan nasional Indonesia. Kalau kemauan politik itu eksis, sebenarnya tak sulit untuk menyebarkan kapal perang ke perairan Somalia. Soal anggaran, "bisa diatur" kalau ada arahan politik.

18 Maret 2011

HADR Dan Kesiapan Operasi

All hands,
Bencana alam dahsyat yang melanda Jepang seminggu silam telah menelan ribuan korban jiwa, selain kerusakan material yang tak sedikit pula. Gempa, tsunami dan ledakan reaktor nuklir Jepang segera direspon oleh militer Jepang dan Amerika Serikat dengan cepat. Hanya dalam hitungan jam setelah gempa dan tsunami melanda Negeri Matahari terbit, kekuatan militer kedua negara segera melaksanakan operasi HADR. Meskipun beberapa pangkalan militer Jepang juga terkena gempa dan tsunami, tetapi situasi itu tidak berpengaruh signifikan terhadap kesiapan operasi HADR Jepang.
Amerika Serikat yang mempunyai beberapa pangkalan di wilayah Jepang juga segera bereaksi cepat untuk melaksanakan operasi HADR. Kapal induk yang beroperasi di sekitar perairan Jepang segera diperintahkan menggelar operasi HADR. Reaksi yang begitu cepat dari militer kedua negara yang beraliansi itu menunjukkan bahwa kemampuan melaksanakan operasi HADR sangat tergantung dari kesiapan operasi militer, termasuk Angkatan Laut, itu sendiri.
Militer Jepang maupun Amerika Serikat telah menunjukkan tingkat kesiapan mereka dalam operasi HADR. Artinya, logistik yang akan didistribusikan untuk operasi itu juga telah siap. Baik logistik yang berada di kapal perang maupun logistik yang berada di pendirian darat. Tentu saja tidak mudah untuk mencapai tingkat kesiapan yang demikian?
Pertanyaannya, seberapa siap kekuatan laut Indonesia untuk melaksanakan operasi HADR?

17 Maret 2011

Kapabilitas Versus Kapabilitas

All hands,
Dalam perkembangan terkini menyangkut pembangunan kekuatan Angkatan Laut, paradigma yang berlaku adalah kapabilitas versus kapabilitas. Paradigma ini menggantikan paradigma lama yang berbasis pada kapal perusak versus kapal perusak, fregat versus fregat dan seterusnya. Sayangnya, banyak pihak di Indonesia yang tidak paham soal paradigma ini. Apalagi pihak-pihak di luar Angkatan Laut yang masih sangat kuat menganut paradigma kapal perusak versus kapal perusak dan seterusnya.
Untuk bisa memahami paradigma kapabilitas versus kapabilitas, setiap pihak harus paham aspek strategi dan operasi Angkatan Laut. Sebab kapabilitas yang harus dipunyai oleh Angkatan Laut pasti dan harus terkait dengan hal tersebut. Seperti kapabilitas peperangan permukaan, peperangan udara, peperangan kapal selam, peperangan amfibi dan peperangan elektronika. Kapabilitas Angkatan Laut harus dibangun terkait soal itu.
Dalam membahas soal kapabilitas versus kapabilitas, akan sangat terkait dengan kesiapan berbagai subsistem senjata Angkatan Laut, khususnya kapal perang. Misalnya untuk peperangan kapal selam dan anti kapal selam, kinerja sonar merupakan salah satu parameter di samping keterampilan pengawak sonar. Inilah kerumitan yang dihadapi oleh Angkatan Laut negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam paradigma kapabilitas versus kapabilitas, karena pembangunan dan pemeliharaan kapabilitas antara lain ditentukan oleh ketersediaan anggaran yang memadai. Perencanaan jangka panjang yang disusun akan lebih bermanfaat apabila didukung oleh dukungan anggaran yang berlanjut, sehingga kapabilitas bukan saja dapat dibangun tetapi mampu pula dipelihara dalam suatu kurun waktu.

16 Maret 2011

Tantangan Memelihara Kemampuan Angkatan Laut

All hands,
Pembangunan kekuatan Angkatan Laut senantiasa menjadi tantangan bagi setiap Angkatan Laut di dunia, karena akan terkait dengan keterbatasan sumberdaya. Keterbatasan sumberdaya merupakan salah satu isu sentral dalam pembangunan kekuatan di manapun, baik secara teoritis maupun pada tataran empiris. Ketika tantangan itu berhasil dihadapi, maka tantangan berikutnya adalah bagaimana memelihara kemampuan Angkatan Laut.
Kemampuan Angkatan Laut terkait dengan berbagai kemampuan tempur, seperti peperangan permukaan, peperangan kapal selam dan lain sebagainya. Upaya mempertahankan kemampuan itu tidak mudah, sebab salah satunya akan tergantung pada kesiapan sistem senjata, baik kapal perang maupun pesawat udara. Kemampuan personel dalam menguji dan mengasah keterampilan mereka secara berkelanjutan dalam peperangan kapal selam, peperangan udara, peperangan permukaan, peperangan amfibi dan peperangan elektronika sangat tergantung pada kesiapan sistem senjata.
Inilah kendala yang banyak dihadapi oleh Angkatan Laut negara berkembang, termasuk Indoneisa. Sebagai contoh, bagaimana memelihara kemampuan personel kapal perang dalam hal peperangan anti kapal selam apabila kinerja sonar sudah menurun. Bagaimana pula kemampuan itu bisa dipertahankan bisa link antara sonar dan sistem senjata bawah air tidak sesuai kondisi awalnya.
Singkatnya, untuk memelihara kemampuan Angkatan Laut dibutuhkan dukungan anggaran yang berkesinambungan. Tanpa itu, sulit untuk mengharapkan kemampuan tersebut terpelihara seiring berjalannya waktu dan usia kapal perang makin bertambah.

15 Maret 2011

Mempertimbangkan Efektivitas Biaya Sistem Senjata

All hands,
Dalam pengadaan sistem senjata, banyak hal yang harus menjadi bahan pertimbangan. Baik dari aspek teknis, operasional , ekonomis hingga politik. Hal itu dapat dipahami karena sistem senjata merupakan perpaduan berbagai aspek tersebut. Karena itu, tidak jarang perencanaan pengadaan sistem senjata memakan waktu cukup lama, minimal dua atau tiga tahun sebelum direalisasikan dalam bentuk kontrak.
Dari aspek ekonomis, negara-negara maju sangat memperhitungkan efektivitas biaya. Maksudnya, mereka menghitung dengan cermat perbandingan antara harga beli sistem senjata dengan biaya selama daur hidupnya. Meminjam istilah yang lebih teknis, life cycle cost dihitung dengan cermat. Pemahaman dan penguasaan mereka terhadap life cycle cost analysis sudah sangat tajam.
Dalam life cycle cost analysis, variabel yang dihitung mencakup biaya investasi awal, biaya operasional sistem senjata, biaya pemeliharaan dan perbaikan, biaya penggantian dan residual value. Ketika menghitung life cycle cost analysis, nilai konstan mata uang yang digunakan dalam pengadaan dan pasca pengadaan (operasional dan pemeliharaan) turut dihitung pula. Bahkan biaya penghapusan pun tak luput untuk dihitung.
Meskipun Indonesia masih berstatus negara berkembang, alangkah baiknya apabila life cycle cost analysis juga diterapkan dalam pengadaan sistem senjata, termasuk sistem senjata Angkatan Laut. Dengan demikian, diharapkan biaya yang tidak sedikit dikeluarkan oleh negara untuk membeli suatu jenis sistem senjata ---misalnya kapal selam--- akan setimpal dengan biaya-biaya lanjutan yang harus dikeluarkan dalam daur hidup sistem senjata itu. Singkatnya, tidak ada jaminan bahwa suatu sistem senjata yang harganya "murah" otomatis biaya yang harus dikeluarkan dalam siklus hidupnya lebih murah daripada sistem senjata yang lebih "mahal".

14 Maret 2011

Pelajaran Dari Pulau Pagai

All hands,
Tsunami yang melanda Kepulauan Mentawai menjelang akhir 2010 memberikan banyak pelajaran dan pengalaman dari bangsa ini. Satu di antaranya adalah soal kesiapan data hidrografi titik-titik pantai di kawasan tersebut. Angkatan Laut negeri ini yang terlibat dalam operasi bantuan di Kepulauan Mentawai menemui berbagai kendala untuk mendaratkan bantuan, antara lain disebabkan oleh tingginya ombak dan tidak lengkapnya data hidrografi tentang morfologi pantai di kepulauan itu. Sehingga dalam satu kasus, kapal perang Angkatan Laut tidak dapat melakukan pemantaian di Pulau Pagai karena miskin data yang dialami.
Kondisi itu menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan oleh komunitas hidrografi Angkatan Laut. Untuk membereskan pekerjaan rumah tersebut memang tidak mudah, antara lain karena biaya survei hidrografi yang tidak sedikit sementara alokasi anggaran survei rutin juga terbatas. Guna menghadapi kendala demikian, perlu dilaksanakan terobosan.
Terobosan itu antara lain melalui pencarian anggaran survei yang dialokasi pada APBN lembaga negara lainnya. Lewat cara tersebut, Angkatan Laut dapat mensiasati keterbatasan yang ada. Menurut informasi, Bappenas dalam alokasi anggarannya juga memiliki pos untuk survei. Tentu saja hal itu merupakan peluang bagi Angkatan Laut untuk melaksanakan survei di wilayah-wilayah yang selama ini belum pernah disurvei dan atau minimal data-data morfologi pantainya sudah lama tak dimutakhirkan.
Dengan memanfaatkan alokasi anggaran pihak lain, sedikitnya ada dua keuntungan bagi Angkatan Laut, khususnya Dishidros. Pertama, memperkaya data-data hidrografi bagi kepentingan militer Angkatan Laut. Kedua, secara bersamaan melaksanakan fungsinya sebagai lembaga survei hidrografi nasional. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sudah saatnya Hidrografi Angkatan Laut menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam soal survei dan pemetaan laut.

13 Maret 2011

Kemampuan Operasi Amfibi Australia

All hands,
Seperti diketahui Australia memiliki doktrin Go North karena kepentingannya dipertaruhkan di kawasan sebelah utara dari Australia. Untuk mengamankan kepentingan itu, Angkatan Laut Australia sebagaimana tercantum dalam Buku Putih Pertahanannya harus mampu melaksanakan proyeksi kekuatan dalam rangka pengendalian laut. Dalam proyeksi kekuatan itu, kekuatan darat Australia didesain untuk menduduki wilayah-wilayah di sekitar choke point strategis.
Guna memproyeksikan kekuatan tersebut, dibutuhkan kemampuan peperangan amfibi yang memadai. Latar belakang itulah yang mendasari pengadaan kapal amfibi LHD kelas Canberra. Kapal itu diproyeksikan baru akan masuk ke jajaran kekuatan laut Australia beberapa tahun ke depan. Ketika kapal amfibi LHD belum masuk jajaran Angkatan Laut Australia, secara tiba-tiba pada Februari silam Departemen Pertahanan Negeri Kangguru mempensiunkan kapal amfibi LPA HMAS Manoora karena "persoalan teknis" yang akut. Pada saat yang bersamaan, HMAS Kanimbla yang satu kelas dengan HMAS Manoora harus menjalani pemeliharaan yang diprediksikan baru akan selesai April 2012.
Membuka kembali lembaran sejarah, kedua LPA merupakan tumpuan utama proyeksi kekuatan Australia ketika menggelar intervensi di Timor Timur pada 1999. Dengan kehilangan HMAS Manoora dan masih "sakitnya" HMAS Kanimbla, maka kemampuan proyeksi amfibi Australia hingga setengah tahun ke depan cukup lemah. Kelemahan itu baru akan tertutupi apabila rencana pengadaan kapal pengganti sementara dari Inggris yaitu kelas Bay terlaksana.
Artinya, hingga pertengahan 2011 Indonesia aman dari ancaman invasi (invasi terbatas) Australia. Negeri penindas kaum Aborigin itu hanya bisa menginvasi Indonesia apabila menumpang pada kemampuan proyeksi kekuatan Amerika Serikat.

12 Maret 2011

Radford-Collins Agreement

All hands,
Australia sangat berkepentingan dengan SLOC di Indonesia, sehingga dengan cara apapun harus dipertahankan. Terkait hal tersebut, salah satu langkah yang ditempuh adalah bekerjasama dengan Amerika Serikat. Bentuknya adalah Radford-Collins Agreement yang ditandangani pada Maret 1951 oleh Laksamana Arthur Radford CinC U.S. Pacom dan Laksamana Muda John Collins Kepala Staf Angkatan Laut Australia. Cakupan Radford-Collins Agreement meliputi Samudera India dan Samudera Pasifik, dengan salah satu fokus adalah SLOC di Asia Tenggara (baca: Indonesia).
Hingga sekarang Radford-Collins Agreement masih berlaku, hanya saja memang jarang disebut. Bahkan dalam konteks Indonesia, nampaknya tidak banyak pihak yang paham soal perjanjian itu. Radford-Collins Agreement dalam beberapa tahun terakhir kembali menjadi perhatian di Australia seiring adanya ancaman keamanan maritim di perairan Asia Tenggara, khususnya Asia Tenggara. Keluaran dari perbincangan tentang perjanjian tersebut adalah Australia tidak akan ragu menggunakan klausul dalam Radford-Collins Agreement apabila Indonesia tidak mampu mengamankan SLOC yang berada di wilayahnya.
Pertanyaannya adalah apakah Persetujuan Lombok tidak dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk "menangkis" Radford-Collins Agreement? Secara kasat mata terdapat beberapa peluang dalam Persetujuan Lombok yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia terkait pengamanan SLOC.

11 Maret 2011

Mengebiri Kekuatan Laut Indonesia

All hands,
Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa kekuatan utama dunia berupaya mengebiri kekuatan laut Indonesia. Sebagai contoh adalah pembatasan jumlah rudal permukaan ke permukaan dan rudal permukaan ke udara dan torpedo yang boleh dibeli untuk memperkuat kapal perang Negeri Nusantara. Kalaupun rudal itu boleh dibeli, ada sederet persyaratan yang harus disetujui oleh Indonesia terlebih dahulu. Situasi ini sudah terlihat ketika Angkatan Laut Indonesia mengakuisisi kapal perang kelas Sigma beberapa tahun lalu.
Upaya mengebiri kekuatan laut Indonesia tak lepas dari potensi Indonesia yang seharusnya menjadi kekuatan laut terbesar di kawasan Asia Tenggara karena luasan geografisnya. Potensi itu dianggap membahayakan negara-negara di sekitar Indonesia, khususnya negeri penyiksa kaum Aborigin, Negeri Tukang Klaim dan Negeri Penampung Koruptor. Lihat saja betapa mudahnya ketiga negara memperoleh berbagai jenis rudal dari beberapa negara produsen nyari tanpa pembatasan dan syarat yang ketat.
Guna menghadapi situasi demikian, solusi paling realistis adalah membeli rudal dan torpedo dari negara yang tidak menerapkan persyaratan ketat kepada Indonesia. Untuk melaksanakan solusi itu sebenarnya tidak sulit selama keterbatasan anggaran tidak lagi dijadikan pembenaran oleh pengambil kebijakan nasional dalam hal pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Berpalingnya Indonesia ke negara-negara lain akan merugikan negara-negara yang selama ini berupaya mengebiri pembangunan kekuatan laut Indonesia, sebab pasar mereka berkurang karena kebijakan mereka sendiri.
Selain rudal dan torpedo, isu pembatasan peluru meriam pun tidak boleh dilewatkan. Untuk peluru meriam ini memang agak rumit, karena meriamnya adalah merek tertentu sehingga munisinya pun harus yang sama dengan itu. Tidak jarang untuk mendapatkan jumlah munisi yang cukup sesuai dengan persyaratan logistik, pengadaannya dilakukan lewat jalur belakang.
Selain solusi itu. perlu pendekatan Indonesia kepada negara-negara yang selama ini berupaya mengebiri pembangunan kekuatan laut Indonesia. Indonesia harus mampu membujuk mereka untuk mengubah kebijakannya. Guna membujuk, kartu-kartu seperti Cina bisa dimainkan sebab negara-negara itu memerlukan Indonesia dalam membendung hegemoni Cina. Apapun kartu yang tersedia di atas meja, semua harus dimainkan demi kepentingan nasional Indonesia khusus pembangunan kekuatan Angkatan Laut.

10 Maret 2011

Kawasan Membutuhkan Indonesia

All hands,
Dengan posisi strategis Indonesia, banyak negara di kawasan Asia Pasifik ---bahkan yang berada di Samudera India--- yang merayu Indonesia agar mau menjalin hubungan lebih erat dengan mereka melalui berbagai kerjasama. Misalnya pada 2010 Kepala Staf Angkatan Laut Pakistan melawat ke Indonesia. Tidak mau kalah dengan musuh bebuyutannya, Kepala Staf Angkatan Laut India pun kemudian berkunjung pula ke Indonesia pada awal 2011. Belum lagi kunjungan para petinggi Angkatan Laut negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik ke Indonesia, atau minimal mereka meminta waktu berdiskusi dengan pemimpin Angkatan Laut Indonesia apabila ada suatu kegiatan multinasional di suatu negara, misalnya simposium.
Situasi ini hendak menggambarkan bahwa peran Indonesia dibutuhkan di kawasan Asia Pasifik. Artinya, peran Angkatan Laut Indonesia juga diperlukan di kawasan yang penuh dengan kekuatan besar ini. Dengan kondisi seperti itu, lalu apa yang sebaiknya dilakukan oleh Indonesia?
Sudah seharusnya bila Indonesia pintar memanfaatkan jendela kesempatan tersebut. Misalnya dengan meminta bantuan dan kerjasama dengan negara-negara itu di luar bantuan dan kerjasama yang sudah terjalin selama ini. Seperti kerjasama intelijen maritim, bisa pula bantuan peralatan sensing, bahkan kalau perlu sistem senjata Angkatan Laut. Niscaya negara-negara yang "ditodong" oleh Indonesia tidak akan menolak sepanjang Indonesia mengakomodasi pula kepentingan mereka. Tantangannya adalah kekuatan laut Indonesia harus bisa mengidentifikasi daftar kebutuhannya, sebab daftar itulah yang nantinya akan disodorkan kepada negara-negara lain yang membutuhkan Indonesia.

09 Maret 2011

Libya Dan Pertarungan Kepentingan Geopolitik

All hands,
Krisis politik di Libya melibatkan pula keterlibatan aktor-aktor luar. Kepentingan aktor-aktor luar terhadap negeri yang dulu pernah berstatus kerajaan itu bukan semata soal siapa yang akan menggantikan Moammar Khadafy bila sang tiran terpaksa turun, tetapi meliputi soal sumber energi yang dipunyai oleh negeri yang pernah menjadi tempat pertempuran antara kekuatan Jerman versus Sekutu dalam Perang Dunia Kedua. Siapa saja aktor yang berhadapan dalam soal perebutan energi di Libya?
Amerika Serikat sudah jelas merupakan salah satu aktor itu. Pertanyaannya, siapa aktor berikut? Jawabannya tak bukan dan tidak lain adalah Cina. Soal kepentingan Cina dalam isu sumber energi Libya bisa dilihat dari berapa ribu warga negeri tirai internet tersebut yang bekerja di tambang minyak Libya dan kini tengah dievakuasi keluar dari negeri yang pernah dibom oleh Ronald Reagan itu. Singkatnya, seiring dengan gejolak politik internal yang menentang kediktatoran Khadafy, Amerika Serikat jauh berpikir ke depan.
Dalam perkiraan Washington, apabila Amerika Serikat tak turut campur dalam prahara di negeri padang pasir itu, maka keuntungan pasca konflik akan diraih oleh Beijing. Keuntungan yang dimaksud tak lain adalah akses ke ladang-ladang minyak Libya, siapapun penguasa baru yang akan naik takhta di Tripoli. Kebijakan Khadafy yang memberikan akses besar kepada Cina dalam isu energi memunculkan kekhawatiran besar dari Washington yang tak pernah rela Beijing memperkuat pijakannya di benua Afrika.
Penyebaran kekuatan Angkatan Laut Amerika Serika ke Laut Tengah di sekitar Libya berada dalam bingkai tersebut. Gunboat diplomacy yang dilaksanakan oleh dua Gugus Tugas Angkatan Laut Amerika Serikat antara lain untuk menjaga kepentingan Amerika Serikat ke depan dalam hal akses kepada ladang minyak Libya. Pertanyaannya, apakah Cina juga akan melaksanakan penggelaran kapal perangnya ke Laut Tengah guna mengamankan kepentingannya di Libya? Secara geografis, gugus tugas kapal perang Cina yang terdekat dengan Libya adalah di perairan Somalia. Untuk mencapai Laut Tengah, pilihan tercepat adalah melintasi Terusan Suez di bawah pengamatan Angkatan Laut Amerika Serikat secara ketat.

08 Maret 2011

Datang, Duduk Manis Dan Kemudian Pulang

All hands,
Kesalahan Indonesia dalam menentukan diri menyangkut focal point agenda ADDM+ tidak lepas dari kinerja pihak terkait, khususnya Departemen Pertahanan. Sebab "lelang" focal point agenda ADMM+ di Vietnam pada 2010 dilakukan secara terbuka di mana Indonesia juga turut hadir. Ketika lelang memasuki babak akhir, hanya tinggal agenda yang tersisa yaitu counter-terrorism dan military family. Dalam kondisi itu, pilihan terbaik dari yang terburuk adalah counter-terrorism.
Pertanyaannya, mengapa Indonesia bernasib demikian? Jawabannya tak lain karena perwakilan delegasi Indonesia yang hadir hanya bersikap datang, duduk manis dan kemudian pulang. Apapun pendapat dan pandangan yang disampaikan delegasi pihak terkesan diiyakan saja dan tidak proaktif. Dari sini bisa jadi ada dua kemungkinan mengapa sang perwakilan delegasi menjadi pihak yang pasif dalam pertemuan ADDM+. Pertama, tidak menguasai bahasa asing dan yang kedua, tidak menguasai materi sidang.
Keluaran dari kinerja perwakilan delegasi Indonesia kini dapat dirasakan oleh Indonesia. Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara sekaligus terluas perairannya menyerahkan pengaturan keamanan maritim kepada Negeri Tukang Klaim. Jelas hal ini merupakan kerugian besar bagi Indonesia, khususnya bagi yang paham terhadap kepentingan nasional.
Cerita latar belakang "kekalahan" Indonesia dalam urusan focal point ADMM menggambar betapa penentuan jabatan-jabatan strategis di Departemen Pertahanan belum memiliki suatu standar kompetensi. Tidak lucu bila ada yang membidangi isu kerjasama kawasan justru tak paham dengan agenda-agenda keamanan kawasan. Lebih lucu lagi bila juga tak fasih berbahasa asing.

07 Maret 2011

HADR Bukan Sekedar Reaktif

All hands,
Di antara agenda kerjasama ADMM+ adalah HADR. Ambisinya, ADMM akan menyiapkan suatu standby force untuk HADR. Ambisi itu boleh saja, akan tetapi hendaknya tetap realistis dengan kondisi nyata di lapangan.
Pertama, standby force pasti akan menyinggung soal komando dan kendali. Isu komando dan kendali akan terkait langsung dengan kedaulatan suatu negara. Soal kedaulatan masih sensitif di lingkungan ASEAN. Misalnya, apakah Singapura rela menempatkan komando dan kendali pasukannya untuk HADR di bawah Indonesia?
Kedua, eksistensi standby force. Adanya standby force menunjukkan bahwa kekuatan tersebut disiapkan untuk merespon suatu bencana. Artinya, operasi HADR yang dilaksanakan adalah operasi yang bersifat reaktif. Indonesia sebagai salah satu negara pihak dalam kerjasama HADR perlu berpikir ulang tentang hal ini.
Perlu diketahui bahwa HADR bukan sekedar reaktif saja, tetapi ada pula yang proaktif. Bentuk proaktif selama ini sebenarnya sudah dipraktekkan di Indonesia oleh Angkatan Laut dalam bentuk Ops Surya Bhaskara Jaya (SBJ). Ada baiknya bila Indonesia dalam ADMM+ mempromosikan pula pengalamannya dalam operasi proaktif dengan salah satu studi kasus adalah Ops SBJ. Pengalaman Indonesia dalam SBJ bisa menjadi modalitas dalam kerjasama HADR, bahkan Jakarta sebaiknya menggagas pula operasi HADR proaktif masuk dalam cakupan kerjasama itu.

06 Maret 2011

Mewaspadai Skenario No Fly Zone

All hands,
Skenario No Fly Zone selalu digunakan oleh negara-negara maju dalam merespon krisis di negara berkembang yang mengancam kepentingannya. Irak era Saddam Hussein adalah korban No Fly Zone, Libya pun yang saat ini di mana Moammar Khadafy sibuk mempertahankan tahtanya sangat mungkin akan menjadi korban berikutnya. Dari sini terlibat bahwa No Fly Zone kini telah berubah menjadi instrumen politik.
Sebenarnya, gagasan No Fly Zone pada awalnya dirancang pada kawasan tertentu yang sensitif terhadap keamanan nasional. Misalnya pangkalan Angkatan Laut, istana kepresidenan dan lain sebagainya. Namun kemudian No Fly Zone kini diterapkan pada negara-negara yang dianggap bandel dalam tata pergaulan internasional, sehingga berubah menjadi instrumen politik.
Dalam konteks ini, Indonesia perlu mewaspadai pula soal No Fly Zone. Jangan sampai di masa depan terjadi krisis politik internal yang mendorong pihak asing menerapkan No Fly Zone di negeri ini. Sebab krisis di Indonesia akan berpengaruh langsung terhadap stabilitas kawasan, sebab perairan Indonesia merupakan jalur yang strategis dan vital bagi stabilitas kawasan sekaligus kepentingan negara-negara maju. No Fly Zone dapat pula diterapkan apabila Indonesia berkonflik dengan kekuatan ekstra kawasan.

05 Maret 2011

Krisis Libya Dan Respon Angkatan Laut Amerika Serikat

All hands,
Krisis Libya yang merupakan rangkaian revolusi di Tanah Arab menimbulkan keprihatinan dan perhatian dari banyak negara. Sebab kepentingan asing di Libya ada berbagai macam, mulai dari mengamankan warga negara mereka di negeri itu, pasokan minyak dan gas Libya hingga pada bahan senjata kimia yang dipunyai oleh negeri kelahiran Omar Mokhtar tersebut. Amerika Serikat dan NATO adalah pihak yang berkepentingan besar terhadap krisis di Libya, sehingga mereka bersiap untuk melaksanakan intervensi.
Sudah merupakan hal yang lumrah bila Angkatan Laut menjadi kekuatan utama untuk merespon krisis dan sekali lagi hal itu dipraktekkan pula di Libya. Amerika Serikat merasa perlu untuk menyebarkan satu Gugus Serang Amfibi dan satu Gugus Ekspedisi Serang Kapal Induk ke perairan Laut Tengah. Kondisi demikian menunjukkan bahwa apa yang ditempuh oleh Amerika Serikat bukan lagi diplomasi Angkatan Laut, tetapi sudah mencapai tingkat gunboat diplomacy. Dikategorikan gunboat diplomacy sebab dalam dua gugus tugas yang disebarkan itu telah mengandung unsur suasi aktif.
Kedua gugus tugas tersebut sangat mungkin pula akan menggelar operasi HADR dalam bentuk Non-Combatant Evacuation Operation (NEO). Bahkan lebih jauh, eskalasi konflik di Libya akan mendorong pula penerapan No Fly Zone di Libya sebagaimana dulu diterapkan di Irak. Penegakan No Fly Zone akan lebih efektif bila dilaksanakan dari kapal induk daripada pangkalan di darat, sebab Washington tak memerlukan lagi beragam prosedur diplomatik di negara tuan rumah pangkalan udara Amerika Serikat. Sekaligus memperkecil peluang meningkatnya kebencian terhadap Amerika Serikat di Tanah Arab.
Krisis Libya sekali lagi membuktikan betapa karakter kekuatan laut yang unik menjadikan Angkatan Laut sebagai perespon krisis. Itulah keunggulan Angkatan Laut yang seharusnya juga dieksploitasi seoptimal mungkin di Indonesia sebagai negeri yang dua pertiga wilayahnya adalah lautan.

04 Maret 2011

Pengembangan Industri Pertahanan India

All hands,
India merupakan satu dari sedikit negara berkembang yang sejak dahulu gigih dan konsisten membangun industri pertahanan nasional dengan berbagai cara. Sejauh ini, kegigihan dan konsistensi India sudah bisa dinikmati negeri yang berpenduduk lebih dari satu milyar tersebut. Berbagai sistem senjata modern dan canggih seperti kapal perang telah mampu diproduksi oleh New Delhi. Namun demikian, bukan berarti tak ada hambatan dalam pengembangan industri pertahanan nasional negeri tersebut.
Satu di antara hambatan itu terkait dengan produksi mesin pendorong. Kemampuan produksi mesin pendorong bagi sistem senjata buatan sendiri masih belum sesuai target dan harapan, antara lain karena adanya hambatan dari negara pemilik teknologi itu. Hambatan yang dialami oleh India berupa akses terhadap teknologi dan kurang tersedianya material dan perlengkapan kritis. Dua hal tersebut masih dikuasai oleh negara pemilik teknologi dan India ternyata tak diberi keleluasaan untuk bisa mengaksesnya.
Dikaitkan dengan Indonesia, salah satu hal yang kritis dalam pengembangan industri pertahanan nasional adalah pengembangan sistem pendorong, baik untuk kapal perang maupun sistem senjata lainnya (di luar sistem senjata darat). Selama ini Jakarta masih 100 persen tergantung kebaikan hati negara lain yang memiliki teknologi tersebut guna mengaksesnya, itu pun dengan status Indonesia hanya sebagai pengguna saja. Industri pertahanan nasional belum mampu menghasilkan sistem pendorong sendiri. Kalau ke depan Jakarta hendak meniru langkah India untuk berswasembada dalam soal sistem pendorong, pengalaman India sebaiknya dijadikan pelajaran.

03 Maret 2011

Jembatan Nusantara

All hands,
Sampai kapan pun selama Indonesia masih berbentuk negara kepulauan seperti sekarang ini, jembatan Nusantara yang sesungguhnya adalah kapal laut. Meskipun pesawat udara bisa menghubungkan berbagai wilayah Nusantara, tetapi tetap tidak mampu menjangkau seluruh wilayah Nusantara. Di samping itu, daya muat kapal laut menjadi keunggulan komparatif terhadap pesawat udara dalam transportasi barang dan jasa, bahkan manusia.
Di masa lalu ketika Nusantara masih dijajah oleh kolonial Belanda, ada sebuah perusahaan pelayaran penjajah yang menjadi jembatan negeri ini. Perusahaan itu dikenal sebagai KPM, di mana generasi orang tua kita yang lahir pasca 1945 masih mengenal dan familiar dengan nama itu. Sejak 1888, KPM menjelajahi berbagai pelosok Nusantara untuk mengangkut manusia dan barang yang tentu saja dalam kerangka kepentingan kolonial Belanda. Dalam penjelajahannya, kapal-kapal KPM tidak mengenal rute basah dan rute kering.
Riwayat KPM di Indonesia tamat seiring kebijakan merebut kembali Irian Barat dari kolonial Belanda, sehingga semua aset KPM di negeri ini dinasionalisasi dan dioperasikan oleh Pelni. Namun nasionalisasi tidak mencakup barang bergerak yaitu kapal karena telah terlebih dahulu diamankan oleh Belanda dari Indonesia. Sampai kini, Pelni adalah satu-satunya perusahaan pelayaran yang melayari seluruh pelabuhan di Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia Timur.
Yang sering menjadi masalah adalah masih belum sesuainya misi Pelni dengan status perusahaan itu. Harus diingat bahwa misi perusahaan tersebut adalah menjadi jembatan Nusantara, tak peduli apakah jalur pelayaran yang dilayari merupakan rute basah atau kering. Karena hal itu terkait dengan misi politik bangsa yaitu mempersatukan transportasi laut Nusantara. Namun misi politik itu seringkali tidak didukung oleh status perusahaan yang bermisi ekonomi alias mencari untung karena statusnya sebagai BUMN.
Ke depan, perlu terobosan dalam pengelolaan pelayaran negeri ini. Merupakan hal yang tidak lucu kalau perusahaan pelayaran nasional justru merugi di Nusantara yang demikian luas wilayahnya ini, terlebih lagi ketika asas cabotage telah diterapkan. Dibutuhkan implementasi nyata dari kebijakan pemerintah untuk mewujudkan asas Wawasan Nusantara yang satu di antaranya adalah satu kesatuan wilayah.

02 Maret 2011

Kebijakan Hibah Sistem Senjata

All hands,
Dalam pembangunan kekuatan, terdapat berbagai macam tantangan yang dihadapi. Satu di antaranya adalah mencukupkan atau menyeimbangkan antara kebutuhan sumber daya dihadapkan dengan ancaman dan tantangan yang dihadapi. Termasuk di dalamnya soal kecukupan kuantitas sistem senjata.
Hibah adalah salah satu metode mudah dan tidak selalu murah dalam pembangunan kekuatan, termasuk hibah sistem senjata. Saat ini dalam prakteknya di Indonesia Departemen Pertahanan masih membuka pintu bagi hibah sistem senjata dari pihak asing kepada militer Indonesia. Di sinilah titik kritis yang perlu dicermati dalam kontek berpikir jangka panjang.
Hibah sistem senjata penuh dengan perhitungan politik dari negara penyedia hibah. Sistem senjata yang dihibahkan pasti selalu sistem senjata bekas, kemudian daya pukulnya juga rendah. Tentang daya pukul rendah antara lain diatur melalui perlucutan senjata aslinya dan atau senjata aslinya sudah berusia mendekati batas usia efektif.
Kalau awal 1990-an kekuatan laut Indonesia mendapat hibah 39 kapal perang eks Jerman Timur, kini Angkatan Laut negeri ini akan memperoleh hibah dua kapal perang eks Brunei Darussalam. Pertanyaannya, apakah hibah itu memberikan peningkatan daya pukul bagi Angkatan Laut? Bagaimana pula dengan efektivitas biaya operasionalnya nanti?
Terlalu sederhana bila Departemen Pertahanan hanya berhitung soal hibah dari aspek diplomatik saja, begitu pula hanya dari aspek penambahan kuantitas kapal perang yang memperkuat Angkatan Laut negeri ini.

01 Maret 2011

Agenda Indonesia Dalam ADMM: Antara Idealisme Dan Realita

All hands,
Minggu lalu di Surabaya telah diadakan pertemuan ADMM di mana Indonesia bertindak sebagai tuan rumah. Dalam ADMM, setelah secara sadar Indonesia tidak mengambil posisi focal point untuk keamanan maritim, Jakarta rupanya lebih memilih agenda counter-terrorism. Bukan seperti dugaannya sebelumnya yaitu peacekeeping operation.
Pemilihan agenda counter-terrorism baik-baik saja. Namun demikian, ada masalah yang menjadi bentangan kesenjangan antara idealisme dengan realitas di lapangan. Dari namanya saja sudah jelas bahwa ADMM adalah forum komunitas pertahanan dengan kekuatan militer sebagai komponen utamanya. Ketika membahas soal counter-terrorism, berarti mengupas tentang peran militer dalam counter-terrorism.
Yang menjadi masalah di Indonesia adalah isu counter-terrorism dimonopoli oleh pihak tertentu saja. Posisi militer dalam counter-terrorism bagaikan menunggu Godot. Nampaknya mustahil pihak tertentu itu akan meminta bantuan militer dalam counter-terrorism, sebab permintaan itu dapat dipersepsikan akan ketidakmampuan institusi sang peminta. Padahal pelaku monopoli itu selama ini sudah berupaya membangun citra bahwa mereka berkompeten dan mampu menghadapi terorisme kapan saja, di mana saja dan seberapa berat pun eskalasinya.
Dengan demikian, kemampuan militer dalam counter-terorism hanya akan teruji dalam latihan-latihan saja. Tetapi sangat sulit untuk teruji dalam situasi sebenarnya. Sebab dalam situasi sebenarnya, militer nampaknya bagaikan menunggu Godot untuk mengharapkan adanya bantuan dari pelaku monopoli penanganan terorisme. Pertanyaannya, apakah idealisme Indonesia dalam ADMM bisa diterapkan di Indonesia?